PDMTUBAN.COM- “All Eyes on Rafah” adalah seruan yang tengah ramai diperbincangkan di media sosial. Kata ini menjadi trending setelah Israel melakukan serangan terhadap lokasi pengungsian di Rafah, yang menyebabkan sedikitnya 40 orang meninggal pada Ahad (26/5/2024) malam. Serangan ini terjadi tiga hari setelah Mahkamah Internasional memerintahkan Israel untuk mundur dari Rafah.
Dalam video yang dilansir oleh media Palestina, terlihat api berkobar di dalam kamp pengungsian yang dikelilingi tembok seng. Korban dengan luka bakar parah dievakuasi dari lokasi pengeboman, dan jenazah bayi-bayi yang mengenaskan terlihat di rumah sakit.
Rafah sendiri merupakan tempat berlindung bagi jutaan pengungsi dari wilayah lain di Gaza yang ingin menghindari serangan Israel. Wilayah ini terletak di bagian selatan Gaza dan berbatasan dengan semenanjung Sinai di Mesir.
Makna dari “All Eyes on Rafah” adalah seruan agar masyarakat dunia memperhatikan apa yang terjadi di Rafah dan tidak mengabaikannya. Kata ini pertama kali muncul saat Israel menyerang Rafah pada Februari 2024, dan kini kembali mencuat setelah serangan terbaru.
Selain menggambarkan penderitaan warga Rafah, “All Eyes on Rafah” juga menyoroti kekejaman yang dilakukan oleh Israel. Ketegangan di kota ini sangat tinggi, dengan mayat bertebaran dan tidak ada tempat aman bagi wanita, anak-anak, dan semua orang di sana.
Potret Kengerian Serangan Israel, Bayi Tanpa Kepala Tetapi Dunia Tetap Diam
Ramai Seruan All Eyes on Rafah, Ilustrasi Anak Tanpa Kepala Jadi Simbol Kekejaman Israel
Tujuan dari seruan ini adalah agar masyarakat dunia membantu Rafah keluar dari situasi yang sulit. Bantuan bisa berupa doa atau seruan agar Israel menghentikan serangannya terhadap kota ini.
Keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang memerintahkan Israel untuk menghentikan serangan darat di Rafah pada 24 Mei 2024 merupakan pukulan bagi negara tersebut. Meskipun pengadilan tidak memiliki cara untuk melaksanakan perintahnya, keputusan ini menambah kecaman atas perang yang telah menewaskan lebih dari 35.000 orang di Gaza menurut otoritas kesehatan setempat.
Penulis: Samson Thohari