PDMTUBAN.COM-Pemerintah Arab Saudi, menurut informasi terbaru menetapkan bahwa terkait penetapan 1 Zulhijah 1445 H, jatuh pada hari Jum’at, tgl 7 Juni 2024, dan mungkin sedikit membuat ragu beberapa warga dan simpatisan Muhammadiyah, karena akan berakibat perbedaan hari Arafah dan Iduladha di tahun 1445 H.
Bagaimana Mensikapinya?
Perlu dijelaskan kepada warga Muhammadiyah dan simpatisan Muhammadiyah meskipun keputusan Muhammadiyah terkait dengan penetapan tanggal 1 Zulhijah 1445 H, Hari Arafah dan hari Iduladha berbeda dengan pemerintah dan bahkan juga berbeda dengan Arab Saudi, bahwa keputusan itu benar adanya berdasarkan metode Hisab Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah.
Penjelasan tersebut diberikan agar mereka tidak ragu ketika melaksanakan puasa Arafah besok, Ahad 16 Juni 2024 dan shalat Iduladha besok Senin, 17 Juni 2024.
Apakah puasa Arafah harus dikerjakan bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf ?
Hadis keutamaan puasa Arafah:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَه
“Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR Muslim no 197)
Perbedaan Pendapat Ulama
Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ “Puasa hari Arafah…”.
Pendapat pertama,
Mereka mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah.
Alasan Pendapatnya:
Puasa Arafah adalah amalan yang disunnahkan bagi orang yang tidak berhaji.
Mereka memahami hadits bersumber Dari Abu Qotadah,
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ إِنِّى أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ »
“Puasa Arafah (9 Zulhijah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang.
Menurut Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah.
Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’i secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”
Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Zulhijah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِى صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِعَرَفَةَ فَشَرِبَهُ.
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di Hari dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).
Hadits lainnya :
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَرَفَةَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ مَيْمُونَةُ بِحِلاَبِ اللَّبَنِ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ.
“Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Pendapat Kedua,
Mereka menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah sesuai dengan kalender bulan Zulhijah pada masing-masing wilayah.
Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. Kita hadapi permasalahan tersebut dengan saling berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilafiyah kita ngotot maka kita akan selalu ribut.
Permasalahan tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja.
Jika seandainya Nabi saw. dalam hadits tersebut bersabda “Puasa Arafah lah kalian ketika para jam’ah haji sedang wukuf di padang Arafah”, tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi karena sabda nabi saw. berbunyi صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ “Puasa hari Arafah…”.
Maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah “hari dimana para jama’ah haji sedang wukuf di Arafah”? ataukah yang dimaksud adalah “hari tanggal 9 Zulhijah, yang dinamakan dengan hari Arafah?”.
Pandangan Muhammadiyah
Muhammadiyah dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijjah sesuai dengan kalender bulan Zulhijjah pada di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode hisab wujudul hilal.
Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf di Arafah ketika terjadi perbedaan hari antara Muhammadiyah dan pemerintah Arab Saudi.
Beberapa argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman Muhammadiyah tersebut, yaitu :
Pertama :
Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 Zulhijah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.
Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada 9 Zulhijah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharam) dan tiga hari setiap bulan” (HR Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah.
Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi: “Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala di padang Arafah)”,
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar” (Fathul Baari 6/268)
Perlu diketahui bahwa Nabi saw. hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa’- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu.
Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah.
Kedua :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon.
Maka jika puasa Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dan lainnya 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut? Dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?. Apakah harus menunggu kabar dari Makkah? Yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?.
Ketiga:
Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Zulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 Maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf?
Contoh lain:
Untuk bulan Zulhijah 1436 ini, pada magrib tanggal 13 September 2015 di kawasan Pago-pago Amerika Serikat (koordinat 140 16‘ 41″ LS, 1700 42‘ 7″ BB), ketinggian hilal adalah antara 7.50 – 8.50.
Sehingga 1 Zulhijah jatuh pada tanggal 14 September 2015. Jika muslim yang berada di kawasan ini mengikuti rukyat di Saudi Arabia yang memasuki bulan Zulhijah pada tanggal 15 September 2015, itu artinya mereka masuk ke bulan baru pada tanggal 2 Zulhijah.
Keempat :
Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Zulhijah.
Maka barang siapa yang satu mathla’ dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama’ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Zulhijah, akan tetapi jika ternyata mathla’nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 Zulhijah dengan kalender di Sorong.
Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 Zulhijah berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi Muhammadiyah menyadari ada juga pendapat pertama yang tentu juga punya argumen kuat.
Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan akidah dan sebagainya.
Penutup
Selama umat Islam belum memiliki Kalender Islam Global akan sulit untuk melakukan penataan sistem waktu. Sehingga keberadaan suatu sistem yang mengatur waktu secara rapi dan terorganisasi di tingkat global merupakan satu keniscayaan bagi umat Islam. Berharap kedepannya umat Islam bersatu, setidaknya di belahan dunia sedang melaksanakan puasa Arafah dan di Arafah para jamaah haji sedang wukuf pada waktu yang bersamaan.
Dengan adanya Kalender Hijriyah Global Tunggal, umat Islam di seluruh dunia dapat merayakan hari-hari besar Islam secara serempak. Ini bukan hanya menyelaraskan waktu puasa dan wukuf, tetapi juga memperkuat rasa persatuan dan kebersamaan di antara umat Islam di berbagai belahan dunia.
Penulis: Fatkhur Rozaq